Monday, January 21, 2013

Aku (juga) kamu,

*Setiap terjaga

& bebas(kan), (lalu) aku mencari

Kami adalah bongkahan dari sepenggal potongan kisah,
Kisah yang terbentuk kerna imajin, lalu menjadi bongkahan hasrat (yang) tak berwujud dan kemudian BOOM! menjadi fatamorgana.
Kala itu tak (hanya) dengan negosiasi, berbondong-bondong ingin datang untuk menemui masing-masing isi kepala.
& dalil pertama yang kami layangkan dimulai dari tumbuhnya :keyakinan:

Dimulai kala itu kami nikmati kehangatan secangkir dinginnya malam & diantara arogannya aroma tembakau yang terbakar. & Semakin malam kami coba tapaki jejak alam yang mulai memudar dengan dalil :keyakinan:

Di malam lain, kami menggali entitas 1 sama lain saat aku dan dia memulai malam dengan “tanda kutip”hanya bergumam & lalu dia katakan apa yang belum pernah aku duga jauh sebelum malam itu menjadi semakin dingin. Tapi coba bayangkan aku yang kala itu penuh dengan kegusaran, aku katakan bahwa “aku rindu padamu”dengan dalil :keyakinan:

& di malam ini kucoba lagi untuk menuangkan kembali secangkir dinginnya malam & diantara arogannya aroma tembakau yang terbakar.

..wardani

Sajak antara aku (juga) kamu


Malam yang kala itu terang bahkan dengan pencahayaan
yang sangat minim, kau menyapaku.
Tanpa tanda pengenal kau coba berkamuflase dengan alih-alih kerna 1 tujuan, tapi tak ayal tujuan itu (pun) bercabang,
memberontak tetapi tetap dalam pengendalianmu,
& Semakin malam (tak) semakin banyak yang kau ingat tentang aku.

Ya, kau seorang wanita!
Wanita yang banyak bicara saat aku diam,
terlebih lagi aku hanya ingat dengan hidungmu manis,
penuh dengan kerutan di tulang hidungmu.

Lalu aku berfikir untuk sebuah nama yang akan kukalungkan padamu,
tapi hanya pikiran itu yang menggantung di jidatku,
& Celakanya tak butuh waktu lama untuk dapat mengalungkan niat itu padamu.

Dinda,,,,,,
Mungkin (hanya) nama itu yang tulus kuberikan di jari tengahmu.

*Yakinkan dirimu lalu (kau) yakinkan aku.

*LOVE YOU*

Harmonisasi
12 nov ’12, @23.45
*Dariku-untukmu

Ceritera kala senja

Sajak ini sepertinya memahami senja saat aku duduk di singgasanaku, hanya duduk & lalu aku berceritera melawan poros bumi yang saat itu basah kerna hilang akan terik-Nya.

& berlalu ketika,
Nyanyian tembakau (mulai) mengawang & larut dalam aromanya “si hitam (nan) pekat”

Aku bernyanyi lagu senja saat senja mulai kehiangan merahnya, & bersama para pejuang kala itu aku takdirkan hidupku diatas takdir mereka. Mereka yang tua, renta & usang tapi berbalut dengan arogannya keramahan.
Kelihatannya senja itu aku berduka, berduka kerna (hanya) terpaku pada busuknya bau tembakau yang dibakar diatas huruf-huruf mati & mulai gusar akan maknanya.

& Diantara “bingkai angka mati” mulai terlihat gumpalan asap yang keluar dari paru-paruku, semakin lama semakin berasap & semakin tebal.

(Te)tapi itu hanya beberapa (potongan) ceriteraku, bahwa masih panjang perjalanan yang akan kutuangkan dalam hitamnya ribuan lintingan biji kopi seperti yang telah kutuliskan dijidatmu & aku masih akan terus menikmati aroma-Mu sebelum aku KAU jemput.

*hijau(pun) terlihat kerna biru-Nya memudar.

Harmonisasi
kakak

Jejaka Kelana

Mari kita mulai cerita ini dengan 1 keyakinan. Yakin dengan adanya aku (pun) sebaliknya, yakin bahwa kamu ada.

Kenjelimetan hidup adalah dasar dimana aku & kau bertemu, kerna alih-alih pengalaman yang tak ada batasnya kita terbuka.
Semaikan duka kala kita bersua, semaikan canda kala kita ada & semaikan keinginan untuk sebuah harapan yang ada dijidatmu.

Lalu kutukan itu bermuara pada obrolan-obrolan malam yang sebelumnya kita tempatkan itu dalam sebuah kotak besar. Lalu mengudaranya kebulan asap yang menemani kala itu, tak ketinggalan momen dimana si hitam datang menemani. Semakin aku diam semakin aku terjerembab pada sifat kebapak-an ku.

Ada yang bernyanyi, melantunkan lagu sendu di malam hari. Hangat kala itu terlihat kala aku & kau membakarnya bersama, lalu jika aku berkata “iya” kau memberontak, kerna keliru akan letaknya yang tak wajar.

*kenjelimetan hidup* Menjadi topik kala itu

harmonisasi

*Teruntuk Mereka


Harapan besar yang berawal kecil, cakrawala membatasi ruas-ruas yang terukir jelas di dahimu. Beranjak dari tempatmu lalu membesarkanku seusai semua terlihat jelas lewat kerutan di dahimu. Air yang renta mewarisi sumpah serapah, menyairkan lantunan saat kesucian yang tak terbungkus kain.

Di hadapanmu aku bersujud, di hadapanmu aku menyembah & di hadapanmu aku berdo’a.

& Dalam sajak penuh makna, dengan kutipan “maaf” kami berdo’a.
“biarkan jari-jemari ini menulis semua tentang indahnya kerut diwajahmu, biarkan jari-jemari ini melukiskan indahnya setiap pagi saat kalian mencium kening kami, biarkan jari-jemari ini mencintai kalian melalui sujud mati kami, & biarkan jari-jemari ini membasuh & memandikan kalian sesaat sebelum kalian kami baluri dengan kain putih nan suci, lalu izinkan kami mencium kening kalian melalui do’a yang kami haturkan sebelum kalian kami benamkan dengan tanah merah ke dalam liang lahat”

Innalillahi wainna ilaihi rooji’un…
Laa ilaahaillallahu…

Di hadapanmu aku bersujud, di hadapanmu aku menyembah & di hadapanmu aku berdo’a.

& Dalam sajak penuh makna, dengan kutipan “maaf” kami rindu & kami kenang kalian (hanya) melalui DO’A.
*Ayah-ibu, dariku-untukmu